News

Makelar Zarof Akui Terima Rp 200 Miliar dari Hasil Urus Perkara

Pada persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa, 20 Mei 2025, terdakwa Zarof Ricar kembali membuat gebrakan. Ia, yang dikenal sebagai mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) dan buronan kepercayaan para pihak berperkara, secara terbuka mengakui telah menerima Rp 200 miliar sebagai kompensasi atas jasa pengurusan perkara tertentu. Pengakuan ini menambah panjang daftar tuduhan gratifikasi dan suap yang menjeratnya, dan menjadi babak baru dalam upaya penegakan hukum terhadap praktik “makelar perkara” di lembaga peradilan.

Siapa Sebenarnya Zarof Ricar?

Latar Belakang Karier dan Jejak Kasus

Zarof Ricar memulai Makelar kariernya sebagai pejabat fungsional di Mahkamah Agung pada awal dekade 2000-an. Jabatan demi jabatan ia jalani, hingga menduduki posisi strategis yang memberi akses ke sejumlah hakim dan panitera. Di sinilah benih-benih kasus gratifikasi mulai tumbuh.

Pada 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Zarof sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi senilai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas. Tuduhan utama: menerima duit haram dari para pengacara dan pihak berperkara untuk memuluskan vonis. Ia kemudian didakwa mengatur putusan bebas dalam kasus korupsi pengadaan minyak goreng, serta membocorkan naskah putusan kasasi sebelum diputus Mahkamah.

Modus Operandi “Makelar Perkara”

Praktik Zarof diduga Makelar melibatkan penyuapan hakim, panitera, dan pegawai MA lainnya. Uang yang diterima dikumpulkan di brankas pribadi maupun di safe deposit box bank. Dari catatan KPK, ia pernah menerima puluhan miliar rupiah untuk mengurus perkara perdata “kasus gula”, serta puluhan miliar lainnya dari penanganan Makelar perkara pidana tingkat kasasi.

Kronologi Pengakuan Uang Rp 200 Miliar

Sidang Terbaru dan Perincian Dakwaan

Pada tanggal 20 Mei 2025, majelis hakim menggelar sidang pemeriksaan saksi. Di hadapan majelis yang dipimpin Hakim Ketut Rahayu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan perihal aliran dana yang dikelola Zarof selama menjadi perantara.

JPU: “Terdakwa, apakah benar Saudara pernah menerima uang senilai Rp 200 miliar dari hasil pengurusan suatu perkara?”
Zarof: “Iya, Yang Mulia. Uang itu saya Makelar terima pada 2017, saat saya membantu proses kasasi sebuah perkara perdata di MA.”

Menurut dakwaan, perkara tersebut melibatkan perselisihan usaha di sektor migas senilai triliunan rupiah. Pihak tergugat menawarkan “honor” Rp 200 miliar untuk memastikan putusan kasasi menguntungkan mereka. Zarof mengaku menerima uang itu secara bertahap: pertama Rp 50 miliar di awal, kemudian sisanya setelah putusan MA dibacakan menguntungkan pihak pemberi.

Bukti Transfer dan Brankas Rahasia

JPU menghadirkan bukti transfer antarbank serta slip penerimaan uang tunai. Beberapa saksi, termasuk petugas bank BUMN, mengonfirmasi penghitungan uang yang dilakukan di ruang brankas perbankan. Selain itu, surat pernyataan saudara Zarof sendiri tentang penyimpanan sejumlah besar dana di brankas resmi turut dihadirkan.

Analisis Hukum atas Kasus Zarof

Pasal Gratifikasi dan Suap yang Dilanggar

Pengakuan Rp 200 miliar tersebut menambah deretan pasal yang dilanggar Zarof, yaitu:

  1. Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (Gratifikasi yang terkait jabatan).
  2. Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (Suap kepada penyelenggara negara).
  3. Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (Tindak pidana pencucian uang, jika terbukti).

Masing-masing pasal diatur pidana penjara minimal lima tahun hingga maksimal seumur hidup, serta denda sampai Rp 1 miliar.

Pengaruh Putusan pada Penegakan Makelar Hukum Perkara Perdata

Dengan masuknya perkara perdata “kasus migas” tadi ke dakwaan, KPK berupaya menunjukkan bahwa praktik suap tidak hanya terjadi pada kasus pidana. Hal ini menjadi preseden: suap dalam perkara perdata pun dapat ditindak sekeras kasus pidana. Pakar hukum Makelar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Siti Munawaroh, berpendapat:

“Pengakuan ini menegaskan lingkup tindak pidana suap Makelar dan gratifikasi di MA sudah jauh melampaui kasus pidana saja. Pasal gratifikasi harus diimplementasikan lebih luas.”

Dampak Terhadap Mahkamah Agung dan Reformasi Internal

Kepercayaan Publik Tergerus

Kasus Zarof Ricar menambah panjang catatan soal korupsi di MA. Mahkamah, yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum, kini dipertanyakan kredibilitasnya. Survei Lembaga Kajian Hukum dan Peradilan (LKHP) menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap MA turun dari 68% pada 2023 menjadi 45% pada Maret 2025.

Upaya Reformasi dan Penguatan Pengawasan

Dalam menanggapi gejolak ini, Ketua Mahkamah Agung, Dr. H. Anita Sari, SH., MH., telah mengumumkan serangkaian reformasi:

  • Penerapan sistem e-court terpadu untuk meminimalkan interaksi langsung.
  • Pembentukan Satgas Integritas Internal di bawah Komisi Yudisial.
  • Peningkatan transparansi putusan melalui publikasi real-time di situs resmi.

Meskipun reformasi ini diapresiasi, banyak pihak menilai langkah-langkah tersebut masih bersifat “syarat” dan belum menyentuh akar permasalahan, yakni budaya “jual beli putusan” di kalangan elit peradilan.

Opini Ahli dan Rekomendasi

Perspektif Pakar Anti-Korupsi

Direktur Indonesia Corruption Studies, Dr. Budi Santoso, menekankan pentingnya kerja sama antarlembaga:

“KPK, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung harus bersinergi. Sampai semua pihak bertanggung jawab, praktik makin susah diberantas.”

Rekomendasi Kebijakan

Beberapa rekomendasi yang digulirkan para ahli:

  1. Perluasan definisi gratifikasi mencakup perkara perdata dan kasasi.
  2. Pemantauan jejak keuangan pejabat MA oleh PPATK (PPATK harus proaktif memeriksa transaksi mencurigakan).
  3. Sistem pelaporan terintegrasi antara pengadilan dan KPK untuk kasus gratifikasi.

Kesimpulan

Pengakuan Rp 200 miliar yang diterima Zarof Ricar dari pengurusan perkara menambah kelam catatan korupsi di Mahkamah Agung. Ia tidak sekadar makelar perkara, melainkan simbol betapa jauhnya budaya gratifikasi telah merasuk ke institusi tertinggi peradilan. Momen ini harus menjadi titik balik—bukan hanya bagi penegak hukum, tetapi juga bagi publik untuk mendesak reformasi yang lebih nyata dan berkelanjutan.

Dengan langkah-langkah tegas, seperti penguatan sistem elektronik, transparansi penuh, dan kerja sama antarlembaga, harapan kepercayaan publik terhadap MA dapat perlahan dipulihkan. Sehingga, lembaga peradilan kembali menjadi institusi yang adil, bersih, dan terpercaya

Related Articles

Back to top button